Pengenalan dan beberapa persoalan JENAKA MINANGKABAU

wisran-hadi
Oleh
Wisran Hadi
I. Pendahuluan
Salah satu kebiasaan atau tradisi orang Melayu, khususnya orang Minangkabau
yang masih tampak lekat begitu kuat adalah; tidak mau berterus terang. Terutama dalam
dalam berbicara. Tidak berterus terang merupakan adab dan nilai tersendiri. Menurut etika atau tata nilai, mereka yang bicara terus terang adalah anak-anak yang belum mengerti dengan bahasa kiasan, lambang-lambang atau simbol-simbol, hanya baru tahu memakaibahasa untuk berkata-kata saja, belum sampai pada taraf seni bahasa, adab bahasa dan
sopan santun. Orang yang bicara terus terang dianggap tidak beradat, tidak bertamaddun.
Dalam kaba Cindua Mato, Bundo Kanduang raja Minangkabau memarahi
Dang Tuanku dan Cindua Mato ketika kedua anak muda itu bicara terus terang didalam sebuah majelis para Basa Ampek Balai. Walaupun Dang Tuanku adalahputranya sendiri, mereka diusir dari persidangan dan menyuruh pergi bermain layang-layang.
Dalam pepatah petitih juga ditemukan ajaran untuk tidak harus berterus terang sebagai berikut:
Sungguhpun harimau dalam paruik
Kambiang juo nan musti dikaluakan
Sungguhpun harimau dalam perut
Kambing juga yang mesti di keluarkan
Di kandang kambiang mambebek
Di kandang kabau malanguah

Di kandang kambiang mambebek
Di kandang kerbau melenguh
Angguk anggak geleang namuah
Angguk tidak, geleng mau
Orang Minangkabau lebih suka menyampaikan sesuatu dengan beribarat, bermisal-misal,
sindir-menyindir, mempergunakan lambang-lambang atau simbol-simbol, dalam bentuk
pantun atau pepatah petitih, atau secara sambil lalu dalam kelakar dan senda gurau.

Menegur tingkah laku atau perbuatan seseorang yang tidak sejalan dengan etika dan normanorma yang berlaku, tidaklah mereka lakukan secara terus terang. Berterus terang dapat pula menimbulkan akibat samping yang tidak menguntungkan, bahkan dapat menjadikan sebuah pergaulan retak, renggang atau putus.
Bila seseorang menyuruh mengambilkan sesuatu untuk kepentingan pribadi
atau untuk kepentingan siapapun, selalu mengawali kalimat perintah dengan kata tolong. “Tolong ambilkan kopiah ayah.” Walaupun yang diperintahinya anak atau istrinya sendiri.
Melalui jenaka pihak yang menegur tidak dibenci oleh pihak yang ditegur, dan pihak yang ditegur tidak merasa tersinggung. Dapat dikatakan, berjenaka adalah salah satu cara sehat untuk menghindari akibat-akibat buruk dari berterus terang. Sebagaimana yang mereka patrikan dalam pepatah; awak mandapek, urang indak kahilangan artinya, tujuan kita tercapai tetapi orang lain tidak merasa dirugikan.
Seorang perempuan kebetulan berwajah kurang cantik misalnya, tidaklah
mereka katakan wajah perempuan itu jelek atau buruk, tapi dikatakan dengan jenaka; Manihnyo lari ka dalam. Manisnya lari ke dalam.
Seorang suami selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan istrinya.
Walaupun gulai yang dibuat isterinya terlalu banyak garam, si suami akan
mengatakan dengan jenaka; Lamak lo masin-masinnyo gulai ko. Enak pula masinmasinnya gulai ini.
Menasehati seseorang agar bersabar mendengar orang lain bicara keras,
marah, tak keruan atau terus terang kepadanya, nasehat itu disampaikan dengan jenaka: “Urang nan indak buliah didanga keceknyo ado ampek; partamo urang
jago lalok. Kaduo, urang kamatian bini. Katigo, urang kayo jatuah bansaik.
kaampek, urang bapangkek tenggi baru pansiun.” (Orang yang tidak perlu didengar
bicaranya ada empat; pertama, orang baru bangun tidur. Kedua, orang yang
kematian istri. Ketiga, orang kaya jatuh miskin. Keempat, orang berpangkat tinggi
baru pensiun.)
Oleh karena itu, jenaka, kejenakaan, berjenaka menjadi salah satu bagian yang penting
dalam kehidupan mereka. Merupakan pintu keluar menghindari keterusterangan.
II. Bentuk-bentuk jenaka
Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau terdapat tiga macam bentuk
jenaka;
3
1. Kucindan – senda gurau dalam bertegur sapa (Irfan Darwis,1980). Di dalam pepatahpetitihnya,
salah satu unsur dari seorang perempuan yang baik itu disebutkan; muluik manih
kucindan murah (mulut manis kecindan murah). Dalam bertegur sapa dia menyelitkan
gurauan yang baik, yang membuat orang senang atau tersenyum. Dia bukan berjenaka, atau
sengaja melakukan sesuatu yang jenaka, tetapi kata-kata yang diucapkannya dapat
menimbulkan sedikit gurauan.
Kucindan dalam dialog sehari-hari;
– Lah bara urang anaknyo? (Sudah berapa orang anaknya?)
+ Baru anak lidah (Baru anak lidah), artinya belum punya anak seorangpun.
– Apo anaknyo? (Apa anaknya)
+ Kundua (Kundur) maksudnya gemuk, bersih dan sehat seperti buah kundur
(Navis, 1986)
2. Garah – senda gurau untuk bersuka ria dan tertawa bersama. Bagarah artinya bersenda
gurau atau berjenaka. Senda gurau dalam bentuk garah ini sangat lazim dipakai. Seseorang
yang suka bersenda gurau disebut pagarah, dan setiap orang suka kepadanya. Orang yang
tak pandai bagarah dianggap sebagai orang yang kaku, sombong dan pemarah.
Namun kata bagarah tidak pula dapat diartikan bermain-main, atau tidak serius.
Bagarah itu adalah cara untuk menyampaikan sesuatu yang serius dengan tidak serius.
Akan tetapi kata dipagarahkan tidak dapat diartikan dipersendaguraukan atau
diperjenakakan, karena arti kata dipagarahkan sama artinya diperolok-olokkan, dipermainmainkan,
dipersendokan.
Orang yang lebih tua atau yang dihormati tidak boleh dipagarahkan, apalagi kalau
seorang gila yang memegang lading/parang. “Urang gilo baladiang jaan dipagarahkan”
artinya, orang gila yang sedang memegang parang jangan dipermain-mainkan. Makna
sesungguhnya adalah; orang yang sedang memegang kekuasaan jangan dilawan.
a. Garah dalam bentuk pantun:
Tanah like bakupiek
Ditimpo tanah badarai
Nan alun diliek lah diliek
Kuciang jo mancik samo bakasai.
Tanah liat berkepiat
Ditimpa tanah berderai
Yang belum dilihat sudah dilihat
Kucing dan tikus sama berkasai
4
(A.A.Navis, 1986)
b. Garah dalam bentuk pemeo:
Bak sibisu barasian, taraso lai takatokan indak.
Seperti si bisu bermimpi, terasa ada terkatakan tidak
Bak si kompoang dapek cincin.
Seperti si buntung dapat cincin. Gembira tapi tak tahu di mana harus dipakai karena
dia tidak punya jari.
c. Garah dalam bentuk teka-teki:
Sikicak sikicam si rio-rio kandi
Nan masak nan masam, nan mudo nan manih
Sikacak sikicam si rio-rio kandi
Yang masak yang masam, yang muda yang manis
(Harmsen, 1876)
Lantai ditembak, iduang nan kanai.
Lantai ditembak, hidung yang kena
d. Garah dalam bentuk penceritaan:
Seorang ibu menstop sebuah oplet berisi para pemburu dengan anjingnya. Setelah
oplet berhenti, si ibu tak jadi naik. Sopirnya bertanya, kenapa tak jadi naik. Jawab si
ibu bagarah:
+ Isinyo sadonyo anjiang. (Isinya semuanya anjing)
Seorang bapak turun dari bus. Kneknya menanyakan di mana diletakkan barang
bawaan si bapak, di atas atap bus atau di ditempat barang di bawah, padahal bapak
itu tidak membawa apapun dan penumpang lain tahu akan hal itu.
– Di ma barang apak? (Di mana barang bapak?)
+ Barang den di bawah (Barang saya di bawah)
Semua penumpang tertawa, karena “barang” dimaksudkan bapak yang jenaka itu
adalah memang satu-satunya milik pribadi yang paling berharga.
3. Cimeeh (cemooh) – senda gurau yang digunakan untuk mengeritik sesuatu atau menegur
tingkah laku seseorang yang tidak pantas secara tidak langsung. Cimeeh atau cemooh dapat
dikatakan sebagai manifestasi dari daya kritis masyarakat Minangkabau yang diungkapkan
dengan jenaka.
a. Cimeeh dalam bentuk pantun
Kuciang balang baranak balang
Bagolek-golek diateh niru
Urang gaek mancilok lamang
Luko bibienyo dek sambilu.
5
Kucing belang beranak belang
Bergolek-golek di atas niru
Urang tua mencuri lemang
Luka bibirnya kena sembilu
b. Cimeeh dalam bentuk pemeo
Tabali lado pagi
Terbeli lada pagi
(seorang yang terburu-buru membeli sesuatu yang ternyata sorenya harga barang itu
jadi murah)
Pulang pai babasah-basah
Pulang pergi berbasah-basah
(ke mana-mana selalu berhutang)
Sudah cakak takana silek
Selesai berkelahi baru teringat silat
(Maksud sesungguhnya; orang yang tidak siap menerima keadaan yang tiba-tiba)
c. Cimeeh dalam dialog sehari-hari
+ Baa inyo kini? Bagaimana dia sekarang?
– Maambuih nasi dingin. Meniup nasi dingin. (sakit sesak nafas )
+ Baa kok indak banyak bana kecek nyo kini?
Kenapa sekarang dia tidak banyak mulut?
– Dilapua ayam batino.
Diterjang ayam betina.. (takut pada istri).
Dalam pembicaraan ini saya memakai kata jenaka
untuk ketiga macam jenaka di
atas, guna memusatkan perhatian pada beberapa aspek kejenakaannya. Masih ada kata lain
yang dapat dipadankan dengan kata jenaka, yaitu lucu atau lawak. Namun kedua kata. itu
tidaklah merupakan kosa kata Minangkabau. Kedua kata itu dikenal kemudian karena
pengayaan bahasa yang terus berlangsung dalam bahasa Indonesia. Selain kata garah ada
kosa kata Minang lain yang hampir sama artinya; gurau. Tetapi kata gurau lebih kepada
percandaan, berolok-olok. Sebuah acara orang-orang muda berbalas pantun diiringi tiupan
saluang dengan berbagai selingan pantun-pantun jenaka, disebut pula bagurau, dan tidak
tepat kalau disebut bagarah.
III. Tema-tema jenaka
6
Jenaka atau sesuatu perbuatan atau perkataan yang dapat menimbulkan orang lain
merasa geli, tersenyum atau tertawa, mempunyai batas-batas tertentu. Bagi orang
Minangkabau, tidak semua yang dapat membuat orang tertawa dapat dimasukkan dalam kategori jenaka. Orang yang tertawa karena melihat seseorang membuat kesalahan atau kekeliruan, bukanlah sesuatu yang jenaka. Itu namanya menghina, mentertawakan
kesalahan orang lain. Orang yang memperlihatkan kebodohannya, lalu orang lain tertawa melihat kebodohan itu bukanlah jenaka. Begitu juga, orang yang mentertawakan dirinya sendiri, walau tampak jenaka, bukan sesuatu yang jenaka. Orang yang suka tertawa sendiri,
mungkin sekali orang itu, orang gila. Orang gila tidak untuk ditertawakan.
Sebuah peristiwa jenaka terjadi apabila ada hubungan timbal balik antara si pejenaka dengan pendengarnya, adanya rapport, baik sendiri maupun sebuah kumpulan.
Sebuah peristiwa jenaka tidak dapat disebut jenaka apabila sipejenaka saja yang merasa jenaka, sedang pendengarnya tidak merasakannya sebagai sesuatu yang jenaka.
Tetapi dapat pula terjadi sebaliknya, sipejanaka tidak merasa berjenaka, tetapi pendengar
atau penontonnya menganggapnya sebagai sebuah peristiwa jenaka.
Hal ini dapat dilihat pada beberapa acara yang sering ditayangkan televisi hasil rekaman
camera tersembunyi atau hidden camera.
Hubungan timbal balik antara sipejenakan dengan orang lain yang terlibat dalam
peristiwa jenaka itu dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; adanya pengertian yang
sama terhadap kata, ungkapan atau idiom-idiom yang sama, dialek yang sama-sama
dipahami, citarasa yang sama, simbol-simbol yang sama, dan juga cara berpikir yang sama
serta tingkah laku yang dapat dipahami bersama.
Sebuah peristiwa jenaka sangat terikat dengan situasi dan kondisi-kondisi
lingkungan. Oleh karena itu, sesuatu yang dianggap jenaka oleh masyarakat Minangkabau,
belum tentu jenaka juga bagi komunitas sosial yang lain.
Barangkali, itulah pula sebabnya, kenapa sebuah jenaka sulit untuk menjadi milik seluruh
kaum atau etnik. Banyak pertunjukan jenaka baik di televisi atau di pentas-pentas khusus
yang mempertunjukkan jenaka sering menghasilkan sesuatu yang tak terduga.
Pejenaka yang sukses di Jakarta, sesampainya di Medan gagal.
Jenaka Minangkabau sering tak membuat orang Melayu Malaysia merasa jenaka, begitupun
sebaliknya.
7
Orang Minang tersenyum jenaka ketika melihat tulisan pada sebuah kedai di Kualalumpur;
Di sini pokok untuk dijual.
Bagi orang Minang menjual pokok sama artinya menjual modal atau bangkrut.
Orang Malaysia merasa jenaka bila mendengar orang Minang selalu berkata dengan serius;
pokoknya yang bermaksud “pada dasarnya”. Karena pokok bagi orang Melayu Malaysia
dapat menghasilkan buah dan boleh ditebang.
Duduk dalam bandar bagi orang Melayu suatu kebanggaan, tapi orang Minang tidak mau
duduk dalam bandar karena dapat membuat celananya basah sampai ke dalam.
Namun begitu, jenaka dari suatu etnik dapat saja sama dengan jenaka pada etnik
lain. Hal disebabkan oleh; rasa bahasa yang sama, tema yang sama, persoalan yang sama.
Banyak jenaka Melayu yang sama dengan jenaka Minang, jenaka Minang sama dengan
jenaka Jawa misalnya. Karena banyak kesamaan, timbul kesulitan mencari sumber asal dari
mana sebuah jenaka bermula. Hal yang sama juga berlaku pada mencari asal-usul ceritacerita
rakyat. Misalnya, ada kaba Malin Deman di Minangkabau, ada pula cerita Malim
Deman di Malaysia, atau Jaka Tarub di Jawa. Kaba Anggun Nan Tongga di Minangkabau,
Hikayat Anggun Cik Tungga di Malaysia. Malin Kudang di Minangkabau, Sampuraga di
Tapanuli, Si Tenggang di Malaysia dan lainnya.
1. Fungsi Jenaka
Berbagai macam, corak, gaya dan tema jenaka yang beredar dan hidup dalam
hampir semua lapisan masyakarat Minangkabau, semuanya ditujukan untuk berbagai
keperluan. Jenaka mempunyai banyak kegunaan dan fungsi. Secara sepintas, orang
berjenaka atau kejenakaan tampak tidak begitu penting, tetapi dalam hal-hal tertentu jenaka
dapat mengganti nasehat-nasehat yang biasanya disampaikan para penghulu atau ulama
secara formal di balai-balai adat, di persidangan adat maupun di mimbar-mimbar masjid.
Jenaka memang tidak mutlak dapat sebagai pengganti nasehat, tetapi nasehat dapat
diberikan secara jenaka. Beberapa fungsi jenaka, antara lain;
1. Untuk menghibur diri, pelipur lara atau bersuka-suka.
Mereka yang telah bekerja seharian baik di ladang maupun di sawah, biasanya
beristirahat di lapau atau kedai-kedai kopi.
Rumah bagi masyarakat Minang bukan tempat istirahat, hanya untuk tempat tidur.
Apalagi kalau rumah itu rumah gadang dengan konstelasi sistem kekerabatan matrilineal,
tidak memungkinkan rumah bagi lelaki, apakah dia sebagai mamak apalagi semenda untuk
menjadikannya untuk tempat istirahat.
8
Lepau, surau, masjid adalah tempat mereka istirahat sebelum pulang ke rumah.
Di lepau-lepau itu mereka berjumpa kawan-kawannya, orang sekampung lainnya, tempat
mereka bercanda, berjenaka. Karena itu peranan lapau atau kedai kopi sangat penting dalam
masyarakat Minangkabau. Lepau tak dibuat berdasarkan perhitungan ekonomi, jual beli dan
perdagangan semata, tetapi sebagai pusat informasi, sarana adu pendapat, tempat berjenaka,
baik dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan spontan maupun dalam pantun-pantun.
Itulah sebabnya, setiap laki-laki Minang, mulai saja dia remaja dan bahkan sampai tua,
lepau bagi mereka adalah terminal. Lelaki Minang yang tidak pernah ke lepau, dia tidak
akan berjumpa dengan orang berjenaka atau bersilat lidah.
Dalam bentuk penceritaan
Ketika Columbus mendarat di pantai Amerika, dua orang Pariaman yang telah lebih
dulu datang ke sana, terkejut dan segera memanggil temannya yang sedang
memancing.
“Mek siko!” Mek kemari! (ada orang datang, dia terpaksa memanggil temannya
itu).
Columbus mendengar panggilan itu dan langsung menamakannya Meksiko.
(Dari Zatako, wartawan/penyair)
Dalam bentuk pantun:
Antah modang antah tapai
Bapuluik-puluik kuahnyo
Antah lamang antah tapai
Jangguik lah kuyuik dek kuahnyo
Entah madang entah tapai
Berpulut-pulut kuahnya
Entah lemang entah tapai
Jenggot lah kuyup kena kuahnya
Anak urang di Kampuang Baruah
Nak lalu ka Aie Angek
Mandanga durian jatuah
Malonjak-lonjak lamang angek
Anak orang di Kampung Baruh
Hendak lalu ke Aie Angek
Mendengar durian jatuh
Melonjak-lonjak lemang panas
(Edwar Djamaris, 1980)
2. Untuk mengiringi tari-tarian.
9
Tarian tradisi Minang, selain diiringi oleh musik, juga diiringi dengan nyanyian,
seperti Tari Tupai Janjang dan Tari Buai-buai. Tarian-tarian ini ditarikan oleh lelaki saja
dan penontonnya duduk melingkar bernyanyi bersama. Pantun-pantun yang mereka
nyanyikan mengandung jenaka. Jadinya, mereka menonton sambil menyanyi dan tertawa
gembira.
Nyanyian pengiring Tari Tupai Janjang:
Kok berang ayah ka denai
Di hukum pancuang den lai namuah
Pancuanglah sabatang tabu junjuang
Di hukum gantuang buliah juo
Gantuangkan ka tandan pisang masak
Di hukum banam den namuah juo
Banam ka dalam pariuak barisi kolak
Hukuman buang lai buliah juo
Buang ka puncak kue bolu
Hukuman tembak den namuah juo
Tembaklah jo mariam lamang sabatang
Bapiluru ondeh-ondeh
Jika marah ayah pada saya
D hukum pancung sama mau
Pancunglah sebatang tebu junjung
Dihukum gantung boleh juga
Gantungkan ke tandan pisang masak
Dihukum benam saya mau juga
Benamkan ke dalam periuk barisi kolak
Hukuman tembak saya mau juga
Tembaklah dengan meriam lemang sebatang
Belurunya onde-onde
(Arby Samah 1983)
3. Untuk menegur, mengeritik sesuatu yang kurang baik atau yang tidak disukai.
Berbagai persoalan yang kurang baik atau yang tidak sesuai dengan apa yang
mereka inginkan selalu mereka ungkapkan dengan pecandaan.
Pada suatu ketika orang Minang dipaksa memilih partai tertentu dalam suatu pemilihan
umum. Mereka tidak suka dipaksa, tetapi mereka tidak mau berterus terang mengemukakan
keberatannya. Mungkin karena takut atau karena ditekan sedemikian rupa.
Lalu, mereka membuat percandaan yang membuat seorang pegawai tinggi pemerintah
merah muka, karena tidak ada alasan untuk marah kepada mereka yang bercanda.
10
Setelah seorang Bupati (Kepala Daerah) bicara penuh semangat kepada orang-orang
yang duduk di lepau tentang kebaikan sebuah partai dan sepantasnya partai itulah
yang harus dipilih dan dimenangkan, sedangkan partai-partai lain tidak perlu
dipilih, seorang tua yang menyimak saja sejak tadi bertanya.
“Pak Bupati. Haruskah kami bertepuk tangan, kalau kuda yang berpancu itu hanya
seekor?”
Kritik terhadap perubahan kelakuan seseorang dalam bentuk teka-teki.
+ Kenapa laki-laki Minang suka berkelahi dan berteriak-teriak sewaktu menonton
pertendingan bola kaki?
– Karena di rumahnya dia tidak berani berkelahi dan berteriak-teriak di depan
istrinya.
3. Untuk memperluas wawasan dan mempertajam pikiran.
Memperluas wawasan dan mempertajam pikiran dapat juga dilakukan dengan
jenaka dan sambil bersenda gurau. Biasanya hal ini sering di lakukan di surau-surau,
sesama mereka yang sedang belajar mengaji, dalam bentuk pantun dan teka-teki.
Dalam bentuk pantun teka-teki:
Biduak kaia mambao sapek
Sapek dijua nak rang Solok
Makan dilauik muntah didarek
Kok tahu cubolah takok.
Biduk kail membawa sepat
Sepat dijual orang Solok
Makan di laut muntah di darat
Kalau tahu cobalah terka.
(A.A.Navis, 1986)
Dalam bentuk teka-teki
Seorang anak bertanya kepada serombongan burung yang terbang di atasnya.
“Banyak sekali kamu,” seru anak itu. Lalu burung itu menjawab. “Belum. Kalau
ditambah sebanyak ini lagi, ditambah pula sebanyak ini lagi dan ditambah dengan
seorang ibu kami, baru jumlah seratus”.
Berapa jumlah burung dalam rombongan itu?
Dalam bentuk dialek, penekanan suku kata
+ Bara kaki kuciang balang tigo?
Berapa kaki kucing belang tiga?
– Ampek.
Empat
+ Kaki kuciang balang, tigo?
11
Kaki kucing belang, tiga?
– Duo baleh
– Dua belas
Masyarakat Minangkabau, atau mungkin sekali masyarakat pada umumnya atau
manusia secara keseluruhannya, di manapun juga, selalu mencari saluran atau ventilasi
untuk melepaskan tekanan-tekanan batin yang dialami.
Tekanan-tekanan tersebut mungkin berupa kondisi-kondisi sosial ekonomi dan kondisi
sosial politik yang kacau balau, atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak
langsung dapat membuat mereka tertekan, takut, marah, mual, benci dan segala perasaan
lainnya. Menurut sesetengah pakar sosio-linguistik, jenaka banyak muncul di negara-negara
otoriter. Semakin kuat tekanan pemerintahan, semakin banyak jenaka muncul.
Rusia paling banyak mengeluarkan jenaka. Salah satu buku yang terbit di Indonesia
bertajuk Mati Ketawa Cara Rusia merupakan jenaka-jenaka terjemahan yang laris di
pasaran.
Ketika orang Minangkabau dijajah Belanda, kebencian pada penjajah itu
diungkapkan dengan jenaka melalui petuah, teka-teki, dan pantun-pantun
Petuah
Orang yang bermata biru tidak dapat dipercaya.
(Umar Junus, 1997)
Teka-teki
Pertanyaan; Ula nan paliang gadang. (Ular yang paling besar).
Jawabnya: Ulando (Belanda).
Pertanyaan: Kuman nan paliang jahek (Kuman yang paling jahat),
Jawabnya; Kumandua. (Engku Mandor, pegawai Belanda)
(R.Chadwijk: Vernicular…. Buku di rumah)
Ketika semangat kemerdekaan sedang membakar dada orang Minang, timbul jenaka
dalam bentuk teka-teki yang lain;
Pertanyaan: Bom jatuah bandera tagak.
Bom jatuh bendera tegak
Jawabnya: Kakabu tacirik.
Kerbau berak
Pantun
12
Sajak pabirik di Indaruang
Lori bajalan ateh kawek.
Sajak paningga mande kanduang
Nasi dimintak sumpah nan dapek.
Sejak pabrik di Indarung
Lori berjalan di atas kawat
Sejak meninggal ibu kandung
Nasi dimintak sumpah yang dapat
Begitu juga ketika rezim Orde Baru begitu kuatnya berkuasa. Banyak lahir jenaka
berupa baik jenaka yang bertema politik maupun kritik terhadap tokoh-tokoh politik
tertentu.
Jenaka yang berisi kritik.
Beberapa mahasiswa Akademi Ilmu Al-Quran yang telah hafal Al-Quran
diperkenalkan kepada menteri agama.
+ Bapak Menteri. Inilah mahasiswa kita yang sudah hafal Al-Quran sebanyak 30
juz.
– Bagus. Juz-juz yang lain bila?
(Dari D.Zawawi Imron, penyair dan ulama)
Ketika larangan berkumpul dan penangkapan-penangkapan terjadi di Indonesia,
orang-orang berjenaka dengan teka-teki.
Pertanyaan: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang,
manusia mati meninggalkan nama. Cacing mati?
Jawabannya: Meninggalkan kawan-kawan seperjuangan.
Ketika kekuasaan pemerintah begitu kuat dan sampai mendominasi pengertian kata.
Pergantian kata pelacur menjadi tunasusila, gelandangan menjadi tunawisma, orang pekak
menjadi tunarunggu. Kata bekas diganti menjadi mantan. Orang lalu membuat teka-teki
jenaka:
Pertanyaan: Bekas sungai?
Jawabannya: Kalimantan.
3. Tema-tema jenaka
Tema jenaka Minangkabau banyak sekali. Tema itu selalu berubah-ubah dan
berkembang menurut perkembangan zamannya, sesuai dengan apa yang dialami atau apa
yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tema-tema yang banyak itu terdiri dari
beberapa persoalan/ masalah;
a. Masalah sosial-politik.
13
Persoalan-persoalan politik yang terjadi sangat menarik bagi orang Minang untuk
mendiskusikannya, mengeritik dan sekaligus mencemoohkan bila persoalan itu dianggap
tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kecenderungan mereka berpolitik melebihi
kecenderungan untuk bekerja keras. Boleh jadi mereka bukanlah orang politik, tetapi sangat
suka bicara politik.
Pergantian pemimpin negara, pemimpin adat, pemimpin kaum dan berbagai
persoalan lainnya, bila menurut penilaian mereka pergantian itu tidak menimbulkan
perubahan, atau tidak menunjukan perbaikan-perbaikan yang berarti, akan mereka
cemoohkan dengan mengatakan:
Batuka baruak jo cigak.
Bertukar beruk dengan cigak. (Beruk dan cigak itu sama jenis binatangnya, kera.)
Bila ada persoalan-persoalan yang tidak kunjung dapat diselesaikan walau sudah
diusahakan bertahun-tahun mereka cemoohkan dengan mengatakan:
Saroman maeto kain saruang.
Seperti menghasta (mengukur) kain sarung. (Tidak akan pernah selesai-selesainya).
Rapat-rapat yang sering diadakan tetapi tidak pernah menghasilkan apa-apa, mereka
cemoohkan dengan mengatakan:
Rapek karo. Kalau hari ujan, karo rapek. Kalau ujan lah taduah bahamburan ka
ilie ka mudiak.
Rapat kera. Kalau hari hujan, kera-kera rapat. Kalau hujan teduh, berlompatan ke
hilir ke mudik.
b. Masalah sosial-ekonomi.
Ketertarikan mereka pada masalah-masalah ekonomi sama dengan ketertarikannya
dengan masalah politik. Oleh karena dalam masalah ekonomi mereka terlibat langsung
secara aktif, dan juga menyangkut mata pencaharian mereka, jenaka mereka langsung
kepada objek, atau langsung kepada masalah yang mereka hadapi.
Bia kapalo bakubang asa tanduak lai makan.
Biar kepala berlumpur asalkan tanduk mengenai sasaran.
dalam dialog seperti berikut:
+ Mak, abak lah pulang. (Mak, ayah sudah pulang)
– Pulang bana abak, adiak waang juo nan kabatambah nyo
(Pulang pun ayahmu, hanya adikmu juga yang akan bertambah)
14
Artinya, pulangpun suami kesulitan ekonomi keluarga tidak akan merubah, selain jumlah
anak bertambah.
1. Masalah adat dan budaya
Masalah-masalah pelaksanaan adat dan perubahan yang terjadi dalam adat dan
budaya, selalu menjadi objek jenaka, terutama untuk mengeritik tingkah laku, putusanputusan
para pemangku adat yang tidak sesuai, keliru, salah atau tidak tepat. Jenaka dengan
tema ini biasanya mereka lakukan dengan memakai pepatah-petitih atau pantun-pantun adat
yang sudah baku, lalu mereka ganti kalimat atau kata-kata tertentu, sehingga menimbulkan
jenaka namun sekaligus mengandung kritik.
Nan kurik kundi, nan merah sago
Nan baik budi, nan endah baso
Kemudian mereka ganti menjadi:
Nan kurik kundi, nan merah sago
Nan baik tivi, nan indah video
c. Masalah agama
Masalah-masalah keagamaan dan pelaksanaan-pelaksanaan ibadat yang tidak
sempurna dijalankan juga menjadi tema dalam jenaka. Baik untuk kritik terhadap mereka
sendiri, maupun khatib, imam, bilal dan semua yang terlibat dalam kegiatan peribadatan.
Biasanya, jenaka-jenaka yang bertema agama ini sering dilakukan dalam bentuk dialog di
surau, masjid atau di kedai-kedai. Kadang-kadang jenaka mereka sangat menganggu
pemikiran dan bahkan juga sepertinya mempertanyakan sesuatu yang sudah pasti.
Dalam garah sehari-hari
Ratusan orang meninggal tertimbun tanah longsor. Masyarakat daerah itu dikenal
sebagai pengikut adat yang kuat, mengutamakan kata mufakat. Setelah semuanya
meninggal, malaikat segera datang menanyakan setiap mayat sebagaimana yang
diajarkan di surau-surau.
“Marrabuka?” tanya malaikat pada salah seorang mayat.
“Tunggu dulu malaikat. Dek karano kami lai banyak, baiyo kami daulu baa nyo,”
jawab seorang datuk.
“Tunggu dulu malaikat. Oleh karena kami ada banyak, mufakat kami dulu
bagaimana?”
15
Dalam bentuk pemeo:
Iduik baraka, mati bariman
Hidup berakal, mati beriman.
d. Masalah seks
Masalah-masalah seks adalah tema yang paling disukai tua muda dalam berjenaka,
dan itupun tak dapat didustai siapapun. Tapi karena masalah seks tidak boleh dibicarakan
dalam seminar ini, maka saya hanya memberikan sebuah contoh saja dari jenaka seks
sebagai bukti bahwa jenaka bertemakan seks memang ada dan hidup dalam masyarakat
Minangkabau.
Seorang tukang pedati singgah makan pada sebuah kedai nasi yang terkenal dengan
gulai otak, goreng udang, dendeng batokok dan ayam panggang. Penjaga kedai nasi
itu tentulah seorang perempuan cantik pula.
+ Ada otak?
– Otak udang ya, pak?
+ Saya tak mau otak udang. Dendeng?
– Ditokok dulu ya pak?
+ Saya tak mau ditokok. Ayam?
– Bapak mau paha atau dada?
+ Yang panas yang mana?
– Ini pak. Kompor
IV. Penyampaian jenaka.
Jenaka dalam masyarakat Minangkabau direpresentasikan atau disampaikan dalam
berbagai cara; pertama, jenaka yang diucapkan dapat ditemukan dalam pembicaraan seharihari,
spontan. Kedua, jenaka yang diperagakan atau dengan sengaja membuat sesuatu
menjadi jenaka, dapat ditemukan di dalam berbagai pertunjukan kesenian seperti randai,
indang, dan beberapa bentuk tarian yang diiringi nyanyian. Ketiga, jenaka yang dituliskan
dapat ditemukan pada pepatah, petitih, pantun, cerita rakyat yang telah ditulis.
1. Jenaka yang diucapkan.
Jenaka yang diucapkan paling kuat memberikan kesan kejenakaannya.
Jenaka demikian paling banyak ditemukan adalah dalam pembicaraan sehari-hari. Jenaka
yang diucapkan secara langsung baik untuk menegur tingkah laku seseorang, untuk
meluahkan berbagai perasaan maupun hanya untuk penglipur lara banyak dilakukan di
lapau-lapau, di surau atau dalam perjalanan di atas bendi, kereta api, bus, atau kapal laut.
16
Seorang pemuda Minang belajar adat, dan datuknya membacakan tambo. Ketika
bacaan datuknya sampai pada asal usul orang Minang dikatakan; “Ketika gunuang
Marapi sagadang talue itik,” (Ketika gunung Merapi sebesar telur itik) si pemuda
langsung mengembangkan imajinasinya sambil bicara sendiri; “Kalau sagadang
gunuang marapi tu talua itiaknyo Tuak, bara gadang itiaknyo tu?”. (Kalau sebesar
gunung merapi itu telur itiknya Tuk, berapa besar itiknya?)
Dalam bentuk pemeo:
Lansia jakunnyo mancaliak padusi tu.
Turun naik jakunnya melihat gadis itu.
2. Jenaka yang dipertunjukan
Kejenakaan dalam suatu cerita rakyat baru muncul setelah dijadikan sebagai cerita
untuk pertunjukan randai. Dalam pertunjukan randai, banyak bagian-bagian dalam cerita
kaba yang diselingi dengan jenaka, baik dalam bentuk gerakan maupun dalam dialogdialog
spontan dan menurut dialek setempat di mana randai itu dipertunjukan.
Contoh dialog jenaka di dalam randai:
Seorang anak muda baru pulang dari rantau. Dia bicara sambil berdiri dan
bergoyang-goyang ke kiri ke kanan. Temannya heran kenapa si perantau ini
bergoyang-goyang demikian.
+ Baa kok bagoyang-goyang bana waang mangecek?
Kenapa kau bicara bergoyang-goyang seperti itu.
– Baru pulang balaia. Taraso juo oleng kapa tu lai.
Baru pulang berlayar. Masih terasa olengnya kapal.
Datang seorang pemain lain yang lebih tua, mencemooh si pemuda.
+ Alah yung! Waang baru balayie sabulan, mangecek lah bagoyang-goyang.
Aden, bini den ampek, cucu lapan, indak panah aden mangecek baiko baiko doh
(sambil menggoyang-goyang pinggulnya ke depan dan ke belakang)
Alah yung. Kau baru berlayar sebulan, bicara sudah bergoyang-goyang. Aku,
biniku empat, cucu delapan, tidak pernah aku bicara bicara begini-begini.
Ada juga jenaka yang dilakukan pendendang-pendendang yang membuat
pertunjukan di sudut-sudut pasar, seperti di muka Matahari Store di Padang, di bawah
Janjang 40 puluah di Bukittinggi, di sudut-sudut kedai di berbagai restoran nasi Padang
sepanjang jalan Lintas Sumatera. Si pendendang sengaja berpantun menyindir orang-orang
yang mendengarkan untuk membuat suasana pertunjukan saluang dendang itu menjadi
semakin meriah dan ramai pengunjung.
17
Sindiran kepada orang muda yang bercinta
Sajak denai gubalo itiak
Ka Bayang denai dakikan
Indak den ka pulau lai.
Sajak denai cinto ka adiak
Sumbayang denai hantikan
Indak den ka surau lai.
Sejak saya gembala itik
Ke Bayang denai dakikan
Indak denai ke pulau lagi
Sejak denai cintakan adik
Sembahyang denai hentikan
Tidak denai ke surau lagi
(Dikutip dari sebuah buku Prof. Hamka)
Jenaka juga banyak sekali ditemukan dalam cerita-cerita Minang modern di dalam
kaset yang sering diperdengarkan pada rumah-rumah makan dan pada kendaraan angkutan
umum dan juga sebagai selingan-selingan lagu Minang yang dikaset dan VCD kan.
Contoh jenaka pada selingan lagu Minang dalam VCD.
Seorang Minang yang selalu memakai sepeda motor, sesampainya di Jakarta
membeli sebuah sedan. Ketika lampu merah menyala pada trafic light, dia berhenti
segera buka pintu dan kakinya diturunkan sebelah. Polisi datang bertanya.
+ Baa kok baturunan kaki sabalah?
Kenapa kakinya diturunkan sebelah?
– Biaso naiak sepeda motor di kampuang, pak
Biasa naik sepeda motor di kampung, pak.
(Jenaka Ajo Aan)
3. Jenaka yang dituliskan.
Sesuatu yang jenaka biasanya dituliskan dalam bentuk pantun, petatah-petitih, kaba
atau cerita rakyat. Petatah-petitih atau pantun yang berunsur kejenakaan itu, disebut sebagai
pantun jenaka atau pantun suka. Namun pada mulanya semua jenaka itu diucapkan dalam
percakapan sehari-hari. Jenaka di dalam kaba tidak begitu berhasil dapat dituliskan.
Kisah-kisah dalam kaba Minangkabau umumnya mempunyai tema yang sama, yaitu
perantauan. Perjuangan yang dihadapi seorang lelaki Minang di luar kampungnya untuk
mencapai suatu cita-cita, yang kemudian berhasil dan kembali pulang.
Kisah-kisah perjalanan demikian penuh dengan berbagai ragam dan variasi.
18
Setelah kaba itu dituliskan, unsur jenakanya menjadi hilang, namun indikasi kejenakaan itu
masih tampak jelas, berupa nama-nama tokoh cerita sampingan dengan memberikan namanama
yang tidak lazim dari nama-nama manusia biasa; Baruak Panjaguang, Datuak Salah
Cangkuang, Silangkaneh, Jilatang Gata, Datuk Palajang Bukik, Datuk Biawak Kasek
dalam kaba Cindua Mato (Sy.St.Rajo Endah, 1985) atau Juki dan Gambuik pada kaba Siti
Baheram, Palimo Parang Usai, Manih Talonsong, Puti Basusuak Intan dalam cerita randai
Manih Talonsong.
Dalam perkembangan berikutnya, jenaka Minangkabau juga ditemui dalam
berbagai hasil karya sastra modern; novel, cerita pendek, naskah drama, juga dalam suratsurat
kabar. Cerita bersambung Si Jibun jo Si Kiah setiap minggu diterbitkan oleh surat
kabar Haluan Minggu, sekitar tahun 60an, kemudian rubrik Jilatang dalam surat kabar
Padang Ekpres selama dua tahun, 2001-2002.
Jenaka dalam rubrik Jilatang dalam surat kabar Padang Ekspres:
DOTOR ANDUS
Mamak si Jila, Daraman namonyo, lah pulang dari Australia. Sabaleh taun
inyo di sinan. Kini lah manatap di kampuang. Dek inyo urang dari rantau, inyo
disuruah mambuek KTP. Pailah Daraman ka kantua Desa.
Sampai di kantua, inyo disuruah duduk dek jurutulih. Duduak ma adok ka
jurutulih. Jurutulih madok ka masin tik. Sambia mantik jurutulih batanyo ka
Daraman. Bak rupo polisi mananyo urang tatangkok maliang ayam.
“Apak ka mambuek KTP?”
“Iyo.”
“Namo?”
“Darman.”
“Daraman. Gala?”
“Sutan Mudo.”
“Sagaek ko apak bagala sutan mudo?”
“Iyo itu gala nan diagiah mamak ambo dulu.”
“Gala sarjana bagai lai ado?”
“Lai.”
“A tu?”
“Dotor.”
“Dotor? Apak dotor? Bantuak apak se sarupo urang maidok sakik tujuah
taun! Kuruih. Kapalo colak sunguik bauban. Bajalan se tadi den caliak indak tagok
lai doh. Tagak apak se alah oyoang. Kalau indak den suruah duduak tadi, mungkin
alah tatilantang apak di lantai kantua den ko. Jaan bagarah juo apak jo den.”
“Ambo serius. Ambo iyo dotor.”
“Dotor ko banyak macamnyo pak. Dotor badah, dotor panyakik dalam, dotor
saraf, dotor tulang, dotor baranak. Apak dotor apo?”
“Dotor bahaso.”
19
“Dotor bahaso? E yayai! Maa adoh dotor bahaso. Kecek apak bahaso ko
adoh pulo nan sakik?”
“Iyo. Ambo dotor bahaso.”
“Pak, ko den serius mangecek ka apak. Dotor bahaso tu namonyo
dotorandus. Kalau nan padusi namonyo dotoranda. Tamat IKIP. Baa apak ko?
Paniang?”
“Iyo bana. Ambo dotor. Sambilan tahun ambo jadi dosen di Australi. Gala
dotor ambo ko indak babali bagai doh. Sah. Ado ijazahnyo.”
“Jaan batangka disiko, malu awak. Pak, kini den kecek an ka apak. Gala
apak sabananyo dotorandus. Jaan dikicuah pulo den lai.”
Darman maangguak-angguak surang. Jurutulih tu taruih mantik. Drs.
Daraman Sutan Mudo, nan sabananyo DR. Darman St. Mudo.
Jenaka dalam skrip drama:
(Jalan Lurus, hal.42-43)
LAKON : Saudara-saudara. Kata Bapak, di sini banyak perkebunan. Kebun kelapa,
kebun cengkeh, kebun jeruk, kebun kopi, kebun .. apa ya. Sekarang masih ada?
LELAKI V: Masih bu
LAKON: Kebun apa?
LELAKI V: Kebun tuan.
LAKON: Kebuntuan? Wah, saya bisa pusing kalau begini.
(Jalan Lurus, hal 59-69)
LELAKI V: Kami punya kera, pak ajudan.
LAKON: Kera? Ya ya. Bapak suka sekali. Dulu pernah dibeli tapi lari lagi ke hutan.
Kera? Yaya. Mana?
LELAKI V: Jenis kera banyak di sini pak. Bapak mau kera apa?
LAKON: Kera apa ya?
LELAKI V: Kera Tuan? Kera Wanan? Kera Mahan? Kera Cunan? Atau Kera
Kusan.?
*
LELAKI V: Penyu bagaimana pak?
LAKON: Yaya. Telurnya bermutu tinggi
LELAKI V: Penyu yang mana pak? Penyu Sutan? Penyu Lingan? Atau Penyuapan?
LAKON: Nah itu. Penyu Apan. Telurnya tentu lebih enak.
LELAKI I: Tapi pak, penyuapan tidak pernah kami lakukan kepada siapapun. Maaf.
LELAKI V: Soal suap menyuap hanya kami lakukan dalam ucapara perkawinan
tradisional, pak. Siang hari, penganten menyuapi mempelai. Malamnya, laki-laki
menyuapi perempuan.
(Wisran Hadi, 1997)
Dalam penulisan jenaka sedikit sekali pengarang yang berasal dari Minangkabau
berhasil menuliskannya. Banyak hal dalam cerita-cerita kaba yang dapat dibuat menjadi
20
jenaka, tetapi tidak ditemukan dalam penulisan. Persoalan utama barangkali terletak dari
kemampuan penulis untuk menyain sebuah jenaka ke dalam bahasa tulisan. Bahasa lisan
untuk sebuah jenaka tidak sama dengan bahasa tulisan. Bahasa lisan lebih komunikatif,
langsung, spontan dan dapat diperkuat dengan menambahkan gerakan-gerakan, intonasi,
penekanan-penekanan pada pengucapan, yang semua itu tidak dapat disempurnakan dengan
bahasa tulisan. Begitu juga pada pihak pembaca jenaka. Mereka dengan vocabulary yang
berbeda dengan apa yang dibacanya akan mengalami kesulitan merasakan kejenakaan
sebuah jenaka. Bisa jadi, sebuah jenaka tidak jadi jenaka lagi setelah dituliskan. Penulisan
jenaka Minang ke dalam bahasa Minangkabau itu sendiri, apalagi ke dalam bahasa
Indonesia mempunyai banyak persoalan yang dapat dibicarakan lagi lebih khusus.
4. Jenaka yang sudah diperkaya
Kemajuan teknologi dan iptek memberikan pengaruh besar dalam memperkaya
tema, bentuk dan penyampaian jenaka. Jenaka dari budaya lain saling berinteraksi dengan
jenaka Minang yang ada. Sekarang, sulit sekali mengetahui apakah sebuah jenaka itu
jenaka Minang, atau jenaka lain yang sudah dialih bahasakan ke bahasa Minang, atau
jenaka itu dipengaruhi jenaka Minang, atau pengaruh jenaka lain yang mendomonir jenaka
Minang, perlu pula agaknya dibuat dalam sebuah kajian khusus yang lebih mendalam.
Umumnya jenaka yang diperkaya ini hidup dikalangan kaum muda atau remaja. Jenaka
mereka tidak terbatas lagi pada bahasa Minang, tetapi sudah disampaikan dalam bahasa
Indonesia. Dalam jenaka baru ini, mereka begitu bebas menggelincirkan atau
memesongkan makna kata, baik dalam bentuk dialog, pantun ataupun teka-teki.
Dalam bentuk penceritaan:
Seorang presiden yang terkenal pakar matematik datang mengunjungi sebuah
pesantren, dia bertanya pada murid-murid.
+ Bagaimana cara kamu mengukur tinggi tiang bendera itu?
– Mudah saja presiden. (Murid itu segera mengambil tali dan memanjat tiang
bendera.
+ Bukan begitu. Nanti kamu jatuh atau tiang itu patah. (Murid itu patuh dan turun)
– Bagaimana cara presiden?
+ Rebahkan dulu tiang bendera itu. (Semua patuh. Setelah tiang itu direbahkan,
presiden mengukur tiang itu dengan alat pengukur)
– Itu bukan ukuran tinggi, tetapi ukuran panjang, presiden.
(Dari D. Zawawi Imron, ulama dan penyair Madura)
21
Dalam bentuk teka-teki.
+ Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia
mati meninggalkan nama. Cacing mati?
– Meninggalkan kawan-kawan seperjuangan.
+ Ayam apakah namanya, kepalanya di kaki, kepaknya di kaki, bulunya di kaki,
kakinya di kaki?
– Ayam dipijak.
*
+ Itik apakah namanya, yang terbang dari Padang ke Jakarta.
– Itik nekad.
Selain jenaka yang diucapkan dan dituliskan, juga berkembang jenaka yang dibuat
dalam bentuk gambar, kartoon dan komik. Apalagi pada zaman sekarang, jenaka banyak
tersebar melalui internet, film dan majalah.
VII. Penutup
Dari beberapa jenaka yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau
sebagaimana yang dijelaskan di atas, untuk sementara dapat ditentukan beberapa cirinya;
1. Apapun juga bentuk persoalan yang dapat dijenakakan, jenaka Minangkabau tidak
mengeksploitir bentuk-bentuk tubuh seseorang yang menjadi objek yang
dijenakakan. Tubuh yang pendek, tinggi, kurus, buruk, cantik tidak dijadikan
sasaran kejenakaan atau cemoohan. Ini berarti, jenaka Minang tidak mengeritik
kekurangan yang ada pada tubuh pribadi-pribadi.
2. Jenaka Minangkabau lebih menekankan pada “permainan” kata dan makna. Satu
kata dengan pengucapan yang berbeda-beda, atau dalam susunan kalimat yang
berbeda akan merubah makna sebuah kata kepada makna lain. Permainan kata
dalam berjenaka, baik dalam bentuk pantun maupun teka-teki merupakan suatu
keunggulan tersendiri dari jenaka Minangkabau. Hal ini sekaligus pula menjelaskan
tingkat kecerdasan keintelektualan masyarakat Minang itu sendiri.
3. Sebuah jenaka tidak bertendensi untuk memperbodoh-bodohkan seseorang. Jenaka
orang bingung dan bodoh biasanya tidak terlalu populer di kalangan masyarakat
Minang. Hal berarti, mereka tidak mau jadi bodoh dengan berjenaka, atau dapat
dikatakan jenaka harus dapat mencerdaskan.
22
4. Setiap jenaka Minangkabau, terutama dalam bentuk teka-teki berusaha memperluas
wawasan. Mereka yang punya pengetahuan yang luas akan mudah mengikuti jenaka
Minang dibanding dengan mereka yang punya pengetahuan terbatas.
5. Tema jenaka Minang sangat bervariasi, beragam dan bebas sekali. Masalah-masalah
sosial politik, ekonomi, adat dan agama dapat dijadikan bahan jenaka. Ini berarti
bahwa masyarakat Minang yang begitu bebasnya berjenaka dapat dikatakan sebagai
cerminan mamsyarakat yang berfikir kreatif dan merdeka.
6. “Isi” dari jenaka Minangkabau lebih merupakan kritik terhadap sesuatu keadaan,
kondisi, perlakuan dan luahan perasaan dari ketertekanan, ketakutan dan kemualan
yang terjadi di sekeliling kehidupannya. Jenaka hanya merupakan “bungkus” saja
dari isi. Dengan demikian, jenaka bukan merupakan tujuan, tetapi menyampaikan
isinya itulah tujuan utamanya.
Sekian.
Kualalumpur 30 Mei 2003
23
Rujukan:
A.A. Navis (1986) Alam Terkembang Jadi Guru PT Pustaka Grafitipers, Jakarta
Arby Samah dkk (1983) Tari Rakyat Minangkabau. Proyek Pengembangan Kesenian
Sumatera Barat
Edwar Djamaris (1980) Pantun Minangkabau Majalah Kebudayaan Minangkabau no.13
Irfan Darwis (1980) Antropologi Minangkabau Majalah Kebudayaan Minangkabau no.12
Harmsen, L.K. (1876) Minangkabausch Raadsels. Tijdschrift voor Indische Tall; Land en
Volkenkunde, Batavia: XXII. Dalam Topics in Minangkabau Vernaculer Literatur
oleh A.J. Chadwick (1986) University of Western Australia.
Khaidir Anwar (1984) Fungsi dan Peranan Bahasa, Sebuah Pengantar. Gadjah Mada
Universitry Press.
M.Thaib gl.St Pamoentjak (1935) Kamoes Bahasa Minangkabau – Bahasa Melajoe – Riau.
Balai Poetaka Batavia
Sy. St. Rajo Endah (1985) Cindua Mato Balai Buku Indonesia, Bukittinggi
Syamsuddin St.Rajo Endah (1989) Tuanku Lareh Simawang Pustaka Indonesia. Bukitinggi
Umar Junus (1997) Undang-Undang Minangkabau, wacana intelektual dan warna
ideology, Kuala Lumpur, Perpustakaan Negara Malaysia.
Wisran Hadi (1997) Jalan Lurus ANGKASA, Bandung.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

~ by Is Sikumbang on November 11, 2008.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.