Pisau Tajam Mamak

SEBUAH ungkapan Minangkabau mengatakan: mamak bapisau tajam, kamanakan badagiang taba.  Maksud­nya semua niniak mamak pemangku adat yang disebut dengan penghulu dan semua mamak rumah yang bukan penghulu mempunyai kewenangan dan tanggung jawab terhadap anak kemena­kannya.

Disimbolkan dengan pisau tajam itulah ia memiliki kekuatan untuk mengurus kaum, suku dan nagarinya. Sedangkan kamanakan badagiang taba bisa diibaratkan dengan anak kemenakan yang punya kemampuan memadai, baik pengetahuan, wawasan, pergaulan, kepangkatan dan perekono­miannya.

Nah, sekarang bagaimana mamak bisa memainkan pisau tajamnya dan kemanakan bisa pula menempatkan dagiang tabanya?

Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat kondisi yang berkembang akhir-akhir ini dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya dalam tatanan adat budaya Minangkabau.  Semakin hari terjadi penurunan sikap mental atau taratik dan bahkan sudah jauh dari norma-norma yang berlaku.

Oleh karena kemajuan teknologi informasi, maka sudah banyak yang sumbang salah dan malahan ada pula sawah nan indak bapamatang lagi.  Ini semua kenyataan dan kondisi yang kita lihat sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda.

Sementara itu peran mamak yang bapisau tajam itu juga terasa semakin berkurang dan apakah pisau itu tidak tajam lagi sehingga perlu diasah kembali.  Secara organisasi kita memang punya Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAM) serta Kerapatan Adat Nagari (KAN),  tapi sejauh mana organisasi itu bisa menjangkau masyarakat.  Kadangkala organisasi-organisasi adat tersebut  lebih banyak pula bekerja bagaikan organisasi pemerintah dan cenderung seremonial belaka.   Setahu saya hingga saat ini belum banyak organisasi adat yang bersentuhan langsung dengan masya­rakat dalam ikut membangun taratik dan karakter bangsa tersebut.

Kemudian apabila kita lihat pula niniak mamak pemangku adat dan mamak rumah juga sudah sibuk dengan urusannya sendiri.  Ada diantara mereka yang tidak tinggal di kampung dan jarang pula pulang sehingga tidak tahu persis kondisi anak kemena­kannya.   Ada pula yang sulit dalam ekonomi sehingga tidak bisa berbuat banyak dalam membina anak kemena­kan, suku,   kaum dan nagarinya.  Akhirnya tanggungjawab langsung yang ada pada seorang niniak mamak tersebut juga tidak  terlaksana sebagaimana mestinya.  Apabila kondisi seperti ini berlangsung lama maka tidak mungkin kita akan kehilangan nilai-nilai dasar dalam kehidupan masyarakat yang selalu bersandarkan kepada agama Islam dan adat Minangkabau.

Ada berapa sekarang ini yang melaksanakan pewarisan nilai-nilai adat melalui pelatihan, ceramah dan baiyo-iyo baraja malu sambia duduak..

Ketika kita tanyakan kepada lembaga dan pemangku adat  maka jawabannya adalah ketidakmampuan dalam mendanai suatu kegiatan.  Maka diharapkan agar pemerintah daerah dapat menyediakan dana pembinaan dan pelestarian adat tersebut dalam APBD dengan porsi yang cukup besar.  Jangan kita terlena hanya untuk pembangunan fisik saja atau untuk pendidikan formal saja,  akan tetapi lebih penting lagi untuk pembangunan taratik dan karakter anak kemenakan.  Hendaknya pemerintah daerah bisa juga berfungsi sebagai niniak mamak karena pemerintah daerah-lah yang bapisau tajam  atau pemerintah daerah memberikan pisau tajam itu kepada niniak mamak.   Dan apabila kedudukan niniak mamak tersebut telah semakin mantap di tengah-tengah masyarakat maka merekapun akan dapat membantu program pemerintah daerah yang lainnya. n (Alfian Jamrah)

Sumber : http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=620:pisau-tajam-mamak&catid=48:limpapeh&Itemid=162

Foto : http://quyat-ramsus.blogspot.com/2010/07/gantiang-baralek-gadang.html

~ by Is Sikumbang on April 25, 2011.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.