Menggairahkan Kembali Kajian Minangkabau dan Peluang Fakultas Ilmu Budaya Unand

•October 20, 2013 • Leave a Comment

Oleh : Humas dan Protokol Unand

unduhan
Minangkabau adalah objek kajian dan perbincangan yang menarik. Bagaikan sebuah sumur yang senantiasa mengeluarkan air, kajian demi kajian dan perbincangan demi perbincangan mengenai Minangkabau tetap hadir sepanjang waktu. Walaupun demikian, kajian historiografis menunjukan, ada perubahan disamping ­keberlanjutan dalam kajian dan perbincangan tentang Minangkabau tersebut. Berikut ini adalah inti sari pemikiran yang disampaikan oleh Prof Dr Gusti Asnan, calon Dekan Fak Ilmu Budaya yang akan dilantik tanggal 1 Agustus 2013 besok, kepada Tim Humas Unand beberapa hari yang lalu.

Kajian atau perbincangan mengenai Minangkabau mulai marak dilakukan sejak perempat kedua abad ke-19. Gairah meneliti dan memublikasikan hasil kajian mereka ini tetap menggebu hingga dekade kedua abad ke-20. Hasil penelitian mereka itu umumnya diterbitkan dalam bentuk artikel dan buku.  Banyaknya karya tulis tersebut terlihat dalam berbagai buku bibliografi yang khusus dibuat mengenai Minangkabau, seperti M. Joustra, Overzich der Literatuur Betreffende Miangkabau (1924), Mochtar Naim, Bibliografi Minangkabau (1975), Rusli Amran, Daftar Artikel dan Buku Mengenai Sumatera Tengah Hingga Awal Abad ke-20 di Perpusatakaan KITLV (1982); Daftar Artikel dan Buku Mengenai Minangkabau di Perpustakaan Nasional RI (1987); Daftar Tulisan Mengenai Minangkabau di KITLV, Pernas RI, Arnas RI (nt), Anas Navis, Bibliografi Minangkabau (190).

Continue reading ‘Menggairahkan Kembali Kajian Minangkabau dan Peluang Fakultas Ilmu Budaya Unand’

Meluruskan Tafsir Nama-nama “Aneh”

•May 16, 2013 • 7 Comments

Oleh : Andrinof A Chaniago ( http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=3217 )

Akademisi dari Universitas Indonesia

ImageUntuk perkara menafsir nama-nama khas orang Minang saja, orang Minang ternyata bisa tersesat jauh. Seorang kawan di jaringan Facebook yang berasal dari Jawa menulis status begini, “Orang Padang setelah kekala­han Permesta tahun 1958 memang krisis identitas, jadi nama orang Minang aneh-aneh kedengarannya, macam Don Vitto, Geo­vanni, Muhammad Rika, padahal nama umum orang Minang kan Sutan Azwar, Nazrul Asril, Amrullah Ka­rim atau Marah Rusli.”

 

Saya tidak terlalu kaget dengan prasangka seperti itu, meski yang seperti ini selalu mengganjal hati saya. Tetapi, yang membuat saya kaget dan

 

prihatin, status kawan Face­booker tadi diamini oleh seo­rang kolega dan senior asal Minang di bawah status yang ditulis oleh kolega yang berasal dari Jawa tadi. (Ini terjadi pada 19 April 2010)

 

Di kesempatan yang lain, saya menemukan lagi pikiran yang “mengejutkan” dan mem­­buat saya makin prihatin dengan pengetahuan dan sikap sejum­lah orang Minang sendiri terha­dap nama-nama aneh orang-orang Minang. Sebuah tim yang ingin mengambil inisiatif menja­di perumus usulan syarat-syarat untuk menyebut seseorang. Sebagai orang Minang, tim itu mencantumkan rumusan usu­lan bahwa untuk disebut sebagai orang Minang, orang harus memiliki nama khas orang Mi­nang atau nama yang islami. Saya agak terperanjat sekaligus makin prihatin, membaca ide dan usulan kriteria tersebut.

  Continue reading ‘Meluruskan Tafsir Nama-nama “Aneh”’

Pupuik Batang Padi, Instrumen Tiup Sederhana Pengiring Ritual

•May 7, 2013 • 1 Comment

ImageDi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terdapat instrumen musik yang unik bernama pupuik batang padi. Seperti namanya, alat musik tiup ini terbuat dari batang padi yang sudah tua dan berbuku. Meskipun hanya terbuat dari batang padi, alat ini menjadi bagian dari hiburan rakyat yang menyemarakkan kehidupan masyarakat Minangkabau.

Proses pembuatan pupuik (puput) batang padi terhitung sederhana. Batang padi yang sudah tua dipecah secara hati-hati di dekat pangkal bukunya. Pecahan batang itu akan membentuk semacam pita suara yang menjadi sumber bunyi. Jika ditiup, pita suara itu akan mengeluarkan bunyi yang melengking.

Untuk membuat suaranya semakin melengking, batang padi dapat disambung pada lintingan daun pandan atau kelapa yang membentuk corong seperti terompet. Batang padi yang sudah disambung dengan lintingan daun pandan disebut pupuik laole. Dengan tambahan corong daun pandan ini, lengkingan suara pupuik dapat terdengar hingga 2 kilometer.

Continue reading ‘Pupuik Batang Padi, Instrumen Tiup Sederhana Pengiring Ritual’

Antara Adat, Syarak dan Kitabullah

•March 13, 2013 • 3 Comments

Oleh : Buya Mas’oed (Harian Umum Haluan | Jumat, 08 Maret 2013)

 

ImageAllah telah mentak­dirkan kita sebagai satu kaum yang me­nempati dataran ting­gi dan rendah. Berbukit, berlurah, dihiasi tebing dan munggu. Sungainya mengalir melingkar membalut negeri, seperti Batang Sianok diam – diam mengalir terus. Akhir­nya bermuara di pinggir laut di Batang Masang dan Katia­gan. Ditingkah gemercik air me­nimpa dedaunan dipagi hari. Bila hujan pun tidak turun, embun tetap menyu­burkan tanah. Dikelilingnya didapati sawah berjenjang, ladang berbintalak. Diapit gunung menjulang tinggi, dikawal Singgalang dan Mera­pi.  Danau Maninjau airnya biru, tampak nan dari Embun Pagi.. Sung­­guh­­pun risau sering meng­ganggu, kampung hala­man selalu menanti. Indah sekali.

 

Alam yang indah karunia Ilahi ini, seakan “qith’ah minal jannah fid-dunya”, sepotong sorga tercampak ke bumi. Mengundang orang yang da­tang berdecak kagum. Kein­dahan alam ini, bertambah cantik, karena ada pagar adat yang kuat dan agama yang kokoh. Tampak dalam tata pergaulan dan sikap laku sejak dahulu. Masyarakatnya ramah. Peduli dengan anak dagang.

 

Pendidikannya maju. De­ngan negeri ribuan dokter, dan para ahli. Hanya didataran tinggi ini, ditemui Parabek dan Canduang. Tempat bermukim para penuntut ilmu dari seluruh penjuru. Bahkan dari Malaysia, Brunei, Thailand dan Pattani. Di samping dari seluruh Nusantara, bahkan dari Aceh, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.

 

Di sini pula didapati satu-satunya Kwek School, sekolah guru, kata orang doeloe, yang melahirkan banyak pujangga dan pendidik. Dari halaman negeri ini menjadi tempat bermain para cendekiawan, Agus Salim, Hatta, Syahrir, Natsir, dan sederetan nama yang panjang, yang dikenal menjadi negarawan yang diakui. Dan ini adalah ba­hagian dari kaba itu.

 

Bila kaba ini ingin di lanjutkan pula. Yang bersua adalah hidup anak negeri berpagarkan nilai-nilai.

 

Nilai-nilai Adat

 

Sebagai masyarakat ber­adat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaidah-kaidah adat itu memberikan pula pelajaran-pelajaran ke dalam tatanan hidup masyarakatnya.

 

Continue reading ‘Antara Adat, Syarak dan Kitabullah’

Ketika Minangkabau Merasa Terhina

•January 21, 2013 • 8 Comments

Sumber : http://www.lenteratimur.com

Oleh : Arif Budiman

Surau bergonjong dan rangkiang dan poster film “Cinta Tapi Beda”. Gambar: diolah oleh LenteraTimur.com/Arif Budiman.Buk…”
“Ya, Pak.”
“Kok aku kepikiran karo putrinya Mas Tris.”
“Nje… nje… neng Sleman, trus nendhi?”
“Kalo dijodoh ke karo Cahyo gimana?”
“Kemaren Titian itu bilang sama ibu, rupanya Cahyo baru dekat dengan orang Padang. Penarinya Titian.”
“Gadis Minang? Hebat itu ibadah e.”
“Insya Allah. Amin Pak. Nje.”

Terjemahan:
“Bu…”
“Ya, Pak.”
“Aku terpikir putrinya Pak Tris.”
“Ya… ya… yang di Sleman, terus bagaimana?”
“Kalau dijodohkan dengan Cahyo bagaimana?”
“Kemarin Titian bilang sama Ibu, rupanya Cahyo baru dekat dengan orang Padang. Penarinya Titian.”
“Gadis Minang? Hebat itu ibadahnya.”
“Insya Allah. Amin Pak. Ya.”

Dialog di atas adalah petikan dialog berbahasa Jawa antara Fadholi dan Munawaroh, orangtua Cahyo, dalam film Cinta Tapi Beda (2012). Film dari Jakarta yang disutradarakan oleh Hanung Bramantyo asal Yogyakarta ini mengisahkan rencana perjodohan Cahyo dengan salah seorang kerabatnya di Sleman, Yogyakarta. Namun, kabar kedekatan Cahyo dengan gadis lain juga berhembus. Tak menolak, orangtua Cahyo justru menyambut baik kabar tersebut. Apalagi, gadis itu adalah seorang Minang yang taat ibadahnya.

Tapi, harapan berbeda dengan kenyataan. Calon menantu gadis Minang, yang dibayangkan hebat ibadahnya itu, ternyata bertolak belakang dengan keyakinan akidahnya. Di sini, petaka pun lahir. Film karya Bramantyo ini menuai kontrovesi dari Minangkabau. Dia dianggap memelintir negeri yang menetapkan Al-Quran sebagai landasan adatnya.

Beda Keyakinan
Diana (diperankan Agni Pratistha), gadis Minang yang menjadi tokoh utama dalam film ini, adalah seorang Kristiani yang taat. Orangtuanya (Jajang C Noor) tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat. Untuk melanjutkan studi tugas akhirnya di bidang seni tari, dia menetap di rumah pamannya di Jakarta. Dalam perjalanan terkait tugas akhir tersebut, dia berjumpa dengan Cahyo (Reza Nangin), pemuda Yogyakarta yang disosokkan sebagai muslim yang taat.

Continue reading ‘Ketika Minangkabau Merasa Terhina’

PASAN MAMAK VI

•May 14, 2012 • 8 Comments

Oleh : Yanto Jambak (Gurindam Pusako)

Kamanakan juo kato mamak
Alun pueh mamak batutua
Sabuah lai cubolah simak
Kaganti pamenan tidua

Banyak istilah kito di minang
Manggambarkan kaum rang padusi
Jikok disibak tarang tarang
Sarek makna jo arati

Dalam surek nan ka anamko
Ka mamak cubo manjalehkan
Ka buah tutua dek urang tuo
Gurindam adat mangatokan

Tigo macamnyo parampuan
Nan jadi pameo dalam kampuang
Jikok di inok dipikiakan
Indak sadonyo nan bundo kanduang

Nan partamo parampuan simarewan
Kaduo mambang tali awan
Katigo baru parampuan
Danga di kamanakan mamak uraikan

Nan disabuik simarewan
Kurang adat kurang taratik
Jarang baso jauah sopan
Hiduik sarupo mambalakang ka langik

Bakoroang kampuang indak jaleh
Jo tetangga indak paduli
Tukang asuang silangkaneh
Pambuek cabuah dalam nagari

Adat indak nyo isi
Limbago indaknyo tuang
Bak cando hiduik indak kamati
Dunia bak katonyo surang

Continue reading ‘PASAN MAMAK VI’

Perspektif Social Engineering Dalam Hukum Adat (Minangkabau)

•April 27, 2012 • 1 Comment
Oleh Boy Yendra Tamin Dt. Suri Dirajo, SH. MH
ImageDalam banyak karangan bisa ditemukan pandangan yang melihat adanya dikotomi antara fungsi hukum sebagai social engineering dengan hukum adat. Dikotomi itu bertolak dari pandangan hukum tradisional yang beranggapan bahwa kebiasaan yang membentuk hukum. Sementara dalam pemikiran hukum sebagai social engineeringjusteru hukumlah yang membentuk kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu bagi penganut  paham hukum tradisional  adalah tidak mungkin diwujudkan konsepsi hukum sebagai social engineering. Sikap yang sama, barangkali juga terlihat pada  penganut aliran “legisme” yang menyamakan hukum dengan undang-undang dan menyangka, bahwa segala pembuatan hukum (termasuk pembaharuannya) dapat dilakukan begitu saja dengan undang-undang. Sebaliknya pihak mazhab sejarah menentang perundang-undangan  (legislation) sebagai suatu cara untuk membuat (dan memperbaharui ) hukum karena hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan (harus) tumbuh dari sendiri dari kesadaran hukum masyarakat.
 
Sebagai akibat dari ajaran hukum yang demikian, di dalam masyarakat Indonesia dirasakan sekarang, betapa tertingalnya pembangunan hukum dari bidang lainnya. Bahkan aliran maszhab sejarah telah mengantarkan hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya  “pembaharuan” yang terlalu cepat, kalau tidak hendak  dikatakan berhasil mencegah sama sama sekali kecuali sebagian kecil dari golongan pribumi. Dalam lain kata, aliran ini seolah-olah tidak melihat realitas sosial dengan apa yang dinamakan perubahan sosial  dan dengan segala kebutuhan yang dimunculkan.
 

Kearifan Minangkabau Makin Terkikis

•April 25, 2012 • 2 Comments

 

 

ilustrasi

KEARIFAN lokal Minangkabau saat ini banyak yang tergerus zaman, tak terkecuali upaya penanggulangan bencana. Karenanya ragam kearifan lokal itu perlu dipahami kembali oleh generasi muda dan penerus bangsa.

“Saat ini kita bisa melihat banyaknya kearifan lokal yang telah tergerus oleh zaman yang seharusnya dapat dijadikan bahan pelajaran bagi generasi sekarang, seperti terkait antisipasi dan penanggulangan kebencanaan,” kata Sosiolog dari Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Profesor Damsar, Sabtu (21/4).

Dia menambahkan, dalam upaya penanggulangan bencana, sebenarnya tidak boleh hanya sebatas masalah infrastruktur saja. Namun juga harus memberdayakan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat.

Damsir mencontohkan, Rumah Gadang yang dibangun nenek moyang Minangkabau tetap dapat berdiri kokoh meski terjadi gempa. Selain itu, lumbung tempat menyimpan padi dan petuah ‘kalau takuik dilamun galombang jan barumah di tapi pantai’ (kalau takut digulung ombak jangan mendirikan rumah di tepi pantai) merupakan kearifan lokal yang mampu membuat orang-orang zaman dulu bisa bertahan dalam kondisi bencana.

Kearifan lokal semacam itu, menurut Damsir, sudah banyak tidak lagi dipahami generasi sekarang, sehingga perlu diingatkan kembali pada masyarakat. Sebab banyak nilai-nilai yang terkandung dalam nasihat maupun bentuk pembangunan rumah yang telah dititipkan generasi sebelumnya untuk generasi saat ini dan generasi mendatang.

Continue reading ‘Kearifan Minangkabau Makin Terkikis’

Urgensi Ajaran Islam dlm Pelestarian dan Pengembangan Nilai-Nilai Adat dan Budaya bagi Generasi Muda

•April 23, 2012 • 1 Comment

Gambaran budaya Minangkabau berdasarkan ABSSBK  menetapkan  “nan Bana, Nan Badiri sandiri nya” atau “Al Haq” itu hanyalah ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Dialah Yang Maha Khaliq,yang telah menciptakan Alam Semesta dan Memberikan Petunjuk/Pedoman Hidup Manusia di tengah peta alam semesta iini. Pengamalan syari’at agama (Islam) dengan keimanan (tauhid) yang benar akan mendorong setiap muslim memahami tentang arti kehidupan.

 

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ  وَالَّذِينَ كَفَرُوا  أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ  يُخْرِجُونَهُمْ  مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada nur(hidayah-Nya). Dan orang-orang kafir itu pelindung-pelindung mereka ialah taghut ( sandaran kekuatan selain Allah) yang mengeluarkan mereka daripada nur (hidayah Allah) kepada berbagai kegelapan …. (Al-Baqarah, 257).

 

Maknanya ada bimbingan TAUHID dalam kehidupan dan menjadi kekuatan  merakit masa depan – di dunia dan akhirat — sejak masa kini.

 

Memerankan nilai-nilai tamaddun  Syariat Islam di dalam adat budaya ABSSBK di Minangkabau (Sumatera Barat) dikuatkan oleh Masyarakatnya terbanyak beragama Islam. Mereka paham agamanya. Mereka selalu pelihara prinsip hidup berakidah dan istiqamah. Ada identitasMinangkabau menjadi  izzah — martabat diri – pada  sikap mujahadah (kesungguhan) dengan sahsiah(personality) yang disebutkan  dalam kato pusako (adat budaya yang sudah diakui sejak lama) dan bakato nan bana (kkebenaran) melalui prinsip musyawarah dengan sikap  saling menghargai dan teguh berdiri sebagai pembela yang benar. Terbujur lalu terbelintang patah. Esa hilang dua terbilang.

 

Continue reading ‘Urgensi Ajaran Islam dlm Pelestarian dan Pengembangan Nilai-Nilai Adat dan Budaya bagi Generasi Muda’

Kato Pusako : A K A (AKAL)

•April 21, 2012 • Leave a Comment

Disadur dari buku KATO PUSAKO karya AB. Dt. Majo Indo

Aka ado ampek bagian

Partamo syariaik namonyo

Kaduo tarikaik namonyo

Katigo hakikaik namonyo

Ka ampek makripaik namonyo

Timbuenyo dari ampek macam

Partamo datang dari pikiran sandiri

Kaduo datang dari urang lain

Katigo datang dari ilham

Kaampek dari usaho, karano dipelajari

Katantuan aka ado tigo bagian

Partamo nan wajib

Kaduo nan jais buliah diyakini, atau indak diyakini

Katigo mustahil atau mungkin jadi

Caro manantukannyo ado ampek caronyo

Partamo karano diliek jo mato

Kaduo karano didanga jo talingo

Katigo karano dicium jo hiduang

Kaampek karano dirasokan jo lidah atau dirasokan dek badan

Ma uji aka ado tigo caronyo

Partamo jo dalie nan datang dari Tuhan

Kaduo jo hadih nabi atau rasul

Katigo mambadiang jo laku alam

Badirinyo aka ado limo ujiannyo

Partamo awa lawannyo akie

Kaduo lahie lawannyo batin

Katigo baiak lawannyo jahek

Kaampek ado lawannyo indak ado

Kalimo iyo lawannyo indak

Nan maha kuaso manjadikan sagalo duo

Partamo ateh bawah

Kaduo langik jo bumi

Katigo bulan jo matahari

Ka ampek lautan jo daratan

Kalimo siang jo malam

Kaanam laki laki jo padusi

Katujuah tinggi jo randah

Kasalapan hino jo mulie

Kasambilan kayo jo bangsaik

Kasapuluah sarugo jo narako

Continue reading ‘Kato Pusako : A K A (AKAL)’